Sabtu, 14 Desember 2013

E-Government

Good Governance dan eGovernment adalah kata yang terus diulas akhir akhir ini di perkuliahan AN. Pengertian e-Government adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis. Model penyampaian yang utama adalah Government-to-Citizen atau Government-to-Customer (G2C), Government-to-Business (G2B) serta Government-to-Government (G2G). Keuntungan yang paling diharapkan dari e-government adalah peningkatan efisiensi, kenyamanan, serta aksesibilitas yang lebih baik dari pelayanan publik. 

#Holmes (2000), E-Gov didefinisikan sebagai “Kegunaan Teknologi Informasi untuk memberikan/menyajikan pelayanan kepada publik dengan lebih nyaman, berorientasi pada konsumen, mengefektifkan biaya, dan secara keseluruhan merupakan cara yang lebih baik dari sebelumnya. 

#Sedangkan penulis lain (Fang, 2002; Seifert and Bonham, 2004) mendefinikan E-government merupakan sebuah cara bagaimana pemerintah menggunakan teknologi informasi khususnya aplikasi internet berbasis web, untuk menyediakan akses yang mudah terhadap informasi pemerintah dan menyediakan pelayanan publik, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintahan, serta melakukan transformasi hubungan antara pejabat publik dengan penduduk dan juga bisnis. 

Dari berbagai definisi ini, umumnya pemerintah-pemerintah di dunia yang mengimplementasikan E-Gov menggunakan definisi dari Bank Dunia[2], yaitu pemanfaatan Teknologi Informasi (seperti Wide Area Network, Internet, Mobile Computing) oleh agen pemerintah yang mampu mentransformasi hubungan dengan penduduk, bisnis serta unit pemerintah lainnya.

Manfaat  E-Goverment

Pelayanan servis yang lebih baik kepada masyarakat. Informasidapat disediakan 24 jam, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor . Informasi dapat dicari dari kantor, rumah, tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
Peningkatan hubungan antara pemeritah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum. Adanya keterbukaan [transparansi ] maka diharapkan hubungan antara berbagai pihak menjadi lebih baik. Keterbukaan ini menghilangkan saling curiga dan kekesalan dari semua pihak.
Pemberdayaan msyarakat melalui informasi yang mudah diperoleh. Dengan adanya informasi yang mencukupi, masyarakat akan belajar untuk dapat menentukan pilihannya. Sebagai contoh, data-data tentang sekolah; jumlah kelas, daya tampung murid, passing grade, dan sebagainya, dapat ditampilkan secara online dan digunakan oleh orang tua untuk memilih sekolah yang pas untuk anaknya.
Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien . Sebagai contoh, koordinasi pemerintahan dapat dilakukan melaluji e-mail atau bahkan vidio confernce .

Contoh Penerapan e-government di Indonesia ( klik untuk membaca lebih lengkap )



The Harvard Policy Group (2000) nasehat menuju e-gev yang unggul :
1.      Fokuskan pada cara teknologi informasi dapat mengarahkan bentuk kegiatan dan strategi dalam sektor publik.
2.      Gunakan teknologi informasi bagi inovasi strategis, bukan hanya otomasi kegiatan taktis.
3.      Manfaatkan pengalaman-pengalaman terbaik (best practices) dalam menerapkan inisiatif pemanfaatan teknologi informasi. Contoh best practices antara lain: di Australia <www1.maxi.com.au>, di Singapura <www.ecitizen.gov.sg>, di AS yang ditangani swasta <www.ezgov.com> dan <www.govworks.com>.
4.      Tingkatkan anggaran dan pendanaan bagi inisiatif pemanfaatan teknologi informasi yang menjanjikan (mempunyai harapan keberhasilan).
5.      Lindungi privasi dan sekuriti.
6.      Bentuk dan kembangkan kerjasama berkaitan dengan teknologi informasi untuk mendorong pembangunan ekonomi.
7.      Gunakan teknologi informasi untuk mempromosikan keadilan dalam peluang kerja dan kesejahteraan masyarakat.

Layne and Lee (2001) menjelaskan dalam 4 tahap pengembangan E-Gov yaitu:
1)      Cataloguing
Fokus pada memulai sebuah bentuk kehadiran secara online dari pemerintah. Hal ini dapat diwakili dengan adanya web static.
2)      Transaction
Dalam halaman web tersebut disajikan link database dinamis.
3)      Vertical Integration
Terbangunnya sebuah koneksi dengan fungsi dan jasa dari tingkat diatasnya. Misalnya Portal web pemda tingkat II, mempunyai fungsi pelayanan dari portal web pemda tingkat I dan tingkat pusat.
Di Vetical Integration, fokus pada transformasi jasa pelayanan pemerintahan dan bukan pada otomatisasi. Targetnya adalah mengintegrasi sistem pemerintahan tingkat II dengan tingkat I dan tingkat pusat, hal ini dilakukan untuk tujuan cross referencing and checking. Selain itu, target lainnya adalah untuk mempertimbangkan peningkatan pada efisiensi, privasi dan masalah kerahasiaan.
4)      Horizontal Integration
Yaitu suatu integrasi antar fungsi dan pelayanan yang beda. Pada Horizontal Integration, ditandai dengan adanya database yang melintas area fungsional yang berbeda, yang saling berkomunikasi satu sama lain dan idealnya saling membagi informasi. Dengan demikian, informasi yang diperoleh satu agen pemerintah maka dapat digunakan oleh seluruh fungsi lain dalam sistem.
Secara keseluruhan 4 tahap E-Gov dari Layne & Lee menawarkan harapan terbaik untuk meningkatkan efisiensi melalui reformasi administrasi melalui vertical maupun horizontal integration.

Pelaksanaan E-Government di Indonesia sebagian besar barulah pada tahap publikasi situs oleh pemerintah atau baru pada tahap pemberian informasi, dalam tahapan Layne & Lee baru masuk dalam Cataloguing. Data Maret 2002 menunjukkan 369 kantor pemerintahan telah membuka situs mereka. Akan tetapi 24% dari situs tersebut gagal untuk mempertahankan kelangsungan waktu operasi karena anggaran yang terbatas. Saat ini hanya 85 situs yang beroperasi dengan pilihan yang lengkap. (Jakarta Post, 15 Januari 2003). Indikator lainnya adalah penestrasi internet baru mencapai 1,9 juta penduduk atau 7,6 persen dari total populasi Indonesia pada tahun 2001. Pada tahun 2002 dengan 667.000 jumlah pelanggan internet dan 4.500.000 pengguna komputer dan telepon, persentasi penggunaan internet di Indonesia sangatlah rendah. (Sumber: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia/APJII).

Inpres Nomor 3 tahun 2003 tentang Strategi Pengembangan Egov seluruh Menteri, Gubernur, Walikota dan Bupati untuk membangun E-government dengan berkoordinasi dengan Menteri Komunikasi & Informasi.
Sebelum terbitnya Inpres Nomor 3 Tahun 2003 terdapat 322 web milik pemerintah dengan rincian: 37 situs web departemen; 32 situs web lembaga non departemen; dan selebihnya yakni 253 merupakan situs web pemerintah daerah.
Diterbitkan Inpres Nomor 3 Tahun 2003, jumlah situs web pemerintah telah meningkat menjadi 472 buah, terdiri dari: 37 situs web milik pemerintah pusat; 32 situs web milik lembaga pemerintah non departemen; dan selebihnya yakni 403 merupakan situs web pemerintah daerah (Depkominfo; 2007).
Ber-dasarkan data yang bersumber dari Ditjen Otonomi Kementerian Dalam Negeri 2009, pada saat itu terdapat 33 pemerintah provinsi; 399 pemerintah kabupaten; serta 98 pemerintah kota.
Jumlah Situs Web Milik Pemerintah Daerah, Sebelum dan Setelah Diberlakukannya Inpres No. 3 Tahun 2003 :
a.       Tahun 2002
 Situs Dep/Lembaga Tinggi  : 37
  Situs Non Departemen : 32
  Situs Pemerintahan Daerah : 253
b.      Tahun 2007
  Situs Dep/Lembaga Tinggi  : 37
  Situs Non Departemen : 32
  Situs Pemerintahan Daerah : 403
c.       Tahun 2009
  Situs Dep/Lembaga Tinggi  : 37
  Situs Non Departemen : 32
  Situs Pemerintahan Daerah : 497
Faktor yang menyebabkan kegagalan e government

1.      Rendahnya Political Will dari pemerintah itu sendiri.
Terkait dengan Political Will ini, dapat dilihat dari tingkat prioritas pemerintah yang mengeluarkan kebijakan E-Gov hanya dengan Instruksi Presiden. Dalam negara, kita mengenal tata aturan perundangan, dimana Inpres menempati posisi dibawah UUD, UU, PERPU dan Kepres. Implementasi E-Gov, tidak hanya akan merubah sistem pelayanan kepada publik, tetapi yang lebih fundamental adalah perubahan budaya birokrasi di pemerintahan, yang tentunya perubahan budaya ini akan berdampak dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia. Inilah yang menjadi permasalahan, Kebijakan Publik berdasarkan Inpres akan dinomor duakan jika berhadapan dengan aturan yang lebih tinggi lainnya, misalnya UU.


2.      Paradigma Lama dalam Aparatur Birokrasi di Indonesia
Teknologi informasi khususnya web dan email hanyalah sebatas alat bantu untuk memudahkan kita dalam menyelesaikan pekerjaan saja. Namun yang paling utama dalam implementasi e-government adalah perubahan paradigma, dari Government Centric menuju Customer Centric. Perubahan tersebut akan menyebabkan perubahan pada layanan-layanan yang diberikan, sehingga merujuk sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan publik.
Salah satu indikator kegagalan implementasi E-Gov adalah ketidakmampuan aparat birokrasi menjaga web portal untuk selalu up date. Paradigma proyek masih tertanam dalam kepala para aparat tersebut, sehingga implementasi E-Gov sesuai dengan Inpres No.3 tahun 2007 dianggap sebagai proyek tanpa memikirkan pemanfaatan jangka panjangnya. Akibatnya menciptakan ketergantungan terhadap ”rekanan tertentu”, yang pada akhirnya akan menjadikan implementasi E-Gov tidak ada bedanya dengan proyek lainnya. Dan jika hal ini terjadi maka tujuan E-Gov yaitu terkait transformasi hubungan antara pemerintah dengan penduduk, swasta (bisnis) dan juga unit pemerintah lainnya tidak akan tercapai, dan malah akan membuka ladang KKN baru bagi birokrat di pemerintahan.

3.      Ketersediaan sumber daya
Disadari maupun tidak ternyata dukungan sarana dan prasarana turut mensukseskan implementasi E-Gov. Dengan tingkat penggunaan Internet yang hanya sebesar 4% dari total penduduk Indonesia, maka Kebijakan ini tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan kebijakan lainnya, yaitu kebijakan pemberiaan akses informasi sampai level desa dan juga kebijakan untuk meningkatkan pengetahuan bagi penduduk.

Hambatan penerapan eGovernment

*Kultur berbagi belum ada. Kultur berbagi (sharring) informasi dan mempermudah urusan belum merasuk di Indonesia. Bahkan ada pameo yang mengatakan: “Apabila bisa dipersulit mengapa dipermudah?”. Banyak oknum yang menggunakan kesempatan dengan mepersulit mendapatkan informasi ini.
*Kultur mendokumentasi belum lazim. Salah satu kesulitan besar yang kita hadapi adalah kurangnya kebiasaan mendokumentasikan (apa saja). Padahal kemampuan mendokumentasi ini menjadi bagian dari ISO 9000 dan juga menjadi bagian dari standar software engineering
*Langkanya SDM yang handal. Teknologi informasi merupakan sebuah bidang yang baru. Pemerintah umumnya jarang yang memiliki SDM yang handal di bidang teknologi informasi. SDM yang handal ini biasanya ada di lingkungan bisnis / industri
*Kekurangan SDM ini menjadi salah satu penghambat implementasi dari e-government. Sayang sekali kekurangan kemampuan pemerintah ini sering dimanfaatkan oleh oknum bisnis dengan menjual solusi yang salah dan mahal.
*Infrastruktur yang belum memadai dan mahal. Infrastruktur telekomunikasi Indonesia memang masih belum tersebar secara merata. Di berbagai daerah di Indonesia masih belum tersedia saluran telepon, atau bahkan aliran listrik. Kalaupun semua fasilitas ada, harganya masih relatif mahal. Pemerintah juga belum menyiapkan pendanaan (budget) untuk keperluan ini.
*Tempat akses yang terbatas. Sejalan dengan poin di atas, tempat akses informasi jumlahnya juga masih terbatas. Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di      Indonesia hal ini dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan, dan tempat-tempat umum lainnya.


Solusi untuk keberhasilan e-geovernment

1.      Mensinkronkan target-target pembangunan nasional dalam sektor telematika dengan beberapa program e-gov yang akan dilaksanakan di seluruh lembaga dan departemen. Langkah ini sekaligus sebagai proses evaluasi program e-gov yang pernah dijalankan di semua tingkatan.
2.      Meningkatkan pemahaman masyarakat, pelaku ekonomi swasta, termasuk pejabat pemerintahan atas potensi yang dapat disumbangkan program e-gov dalam mencapai target pembangunan nasional dan sektor telematika.
3.      Menyelesaikan berbagai program utama e-gov yang belum berhasil dilaksanakan, dan menyusun prioritas program e-gov yang dapat menciptakan lapangan kerja serta membantu penegakan praktek good governance dalam berbagai pelayanan publik.
4.      Menambah akses dan jangkauan infrastruktur telematika bagi semua kalangan untuk mengutamakan pemanfaatan e-gov dalam segala aktivitas sosial ekonomi masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah menetapkan struktur tarif yang transparan dan terjangkau buat semua kalangan. Jika perlu dapat saja diberlakukan diferensiasi tarif untuk semua aplikasi e-gov.
5.      Alokasi dana e-gov perlu ditingkatkan yang disesuaikan dengan tahapan yang telah dicapai. Dana bisa berasal dari APBN / APBD, kerjasama internasional, atau juga dari pihak swasta.
6.      Menetapkan hanya beberapa aplikasi e-gov pilihan – sebagai contoh sukses – yang menjadi prioritas pembangunan dan pengembangan sehingga terjadi efisiensi dalam pemberian pelayanan publik.
sumber : KLIK


Tidak ada komentar:

Posting Komentar