Minggu, 13 April 2014

Jenis Variable

Peubah (Variable)

Variable adalah karakteristik subjek penelitian yang berubah dari satu subjek ke subjek lain. Misalkan tinggi badan, jenis kelamin, pendapatan perkapita, dll. (Sudigdo, 1995)

Sedangkan menurut Solimun,Variable adalah karakteristik atau sifat dari objek kajian yang diamati atau diukur atau dicacah.

Variable menurut fungsinya dibagi menjadi:

1. Variable Bebas (Independent Variable)

Adalah variabel yang bila ia berubah akan mengakibatkan perubahan variabel lain.

2. Variable Tergantung (Dependent Variable)

Adalah variabel yang ditentukan atau tergantung pada variabel lainnya.

3. Variable Penyerta (Concomitant Variable)

Adalah suatu variabel dalam penelitian yang tidak merupakan pusat perhatian akan tetapi muncul dan berpengaruh terhadap keragaman variabel tergantung dan tidak terpengaruh atau membaur (Confounding) terhadap variabel bebas. (Solimun, 1997).

Variable Perancu (Confounding Variable) Adalah jenis variabel yang berhubungan (asosiasi) dengan variabel bebas dan berhubungan dengan variabel tergantung tetapi bukan merupakan variabel antara. (Sudigdo, 1995)

4. Variable Penggangu (Intervening Variable)

Adalah suatu variabel dalam penelitian yag tidak menjadi pusat perhatian akan tetapi muncul dalam penelitian dan berpengaruh terhadap keragaman variabel tergantung dan atau berpengaruh terhadap variabel bebas.

5. Variable Kendali (Control Variable)

Merupakan variabel yang bukan merupakan pusat perhatian dalam suatu penelitian, akan tetapi berpengaruh terhadap keragaman variabel tergantung dan pengaruh tersebut dapat dikendalikan misalnya dengan cara pengelompokan. (Solimun, 1997)

Teknik Pengambilan Sampel

1)  Teknik sampling secara probabilitas
Teknik sampling probabilitas atau random sampling merupakan teknik sampling yang dilakukan dengan memberikan peluang atau kesempatan kepada seluruh anggota populasi untuk menjadi  sampel. Dengan demikian sampel yang diperoleh diharapkan merupakan sampel yang representatif.

Teknik sampling semacam ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
a) Teknik sampling secara rambang sederhana atau random sampling. Cara paling populer yang dipakai dalam proses penarikan sampel rambang sederhana adalah  dengan undian.

b) Teknik sampling secara sistematis (systematic sampling). Prosedur ini berupa penarikan sample dengan cara mengambil setiap kasus (nomor urut) yang kesekian dari daftar populasi.

c) Teknik sampling secara rambang proporsional (proporsional random sampling). Jika populasi terdiri dari subpopulasi-subpopulasi maka sample penelitian diambil dari setiap subpopulasi. Adapun cara peng-ambilannya  dapat dilakukan secara undian maupun sistematis.

d) Teknik sampling secara rambang bertingkat. Bila subpoplulasi-subpopulasi sifatnya bertingkat, cara pengambilan sampel sama seperti pada teknik sampling secara proportional.

e) Teknik sampling secara kluster (cluster sampling) Ada kalanya peneliti tidak tahu persis karakteristik populasi  yang ingin dijadikan subjek penelitian karena populasi tersebar di wilayah yang amat luas. Untuk itu peneliti hanya dapat menentukan sampel wilayah, berupa kelompok klaster yang ditentukan secara bertahap. Teknik pengambilan sample semacam ini disebut cluster sampling atau multi-stage sampling.

2) Teknik sampling secara nonprobabilitas.
Teknik sampling nonprobabilitas adalah teknik pengambilan sample yang ditemukan atau ditentukan sendiri oleh peneliti atau menurut pertimbangan pakar. Beberapa jenis atau cara penarikan sampel secara nonprobabilitas adalah sebagai berikut.

a) Purposive sampling   atau  judgmental sampling  Penarikan sampel secara purposif merupakan cara penarikan sample yang dilakukan memiih subjek berdasarkan kriteria spesifik yang dietapkan peneliti.


b) Snow-ball sampling (penarikan sample secara bola salju).
Penarikan sample pola ini dilakukan dengan menentukan sample pertama. Sampel berikutnya ditentukan berdasarkan informasi dari sample pertama, sample ketiga ditentukan berdasarkan informasi dari sample kedua, dan seterusnya sehingga jumlah sample semakin besar, seolah-olah terjadi efek bola salju.

c) Quota sampling (penarikan sample secara jatah). Teknik sampling ini dilakukan dengan atas dasar jumlah atau jatah yang telah ditentukan. Biasanya yang dijadikan sample penelitian adalah subjek yang mudah ditemui sehingga memudahkan pula proses pengumpulan data.

d) Accidental sampling  atau convenience sampling Dalam penelitian bisa saja terjadi diperolehnya sampel yang tidak direncanakan terlebih dahulu, melainkan secara kebetulan, yaitu unit atau subjek tersedia bagi peneliti saat pengumpulan data dilakukan. Proses diperolehnya sampel semacam ini disebut sebagai penarikan sampel secara kebetulan.

Bila jumlah populasi dipandang terlalu besar,  dengan maksud meng-hemat waktu, biaya, dan tenaga, penelitili tidak meneliti seluruh anggota populasi. Bila peneliti bermaksud meneliti sebagian dari populasi saja (sampel), pertanyaan yang selalu muncul adalah berapa jumlah sampel yang memenuhi syarat. Ada hukum statistika dalam menentukan jumlah sampel, yaitu semakin besar jumlah sampel semakin menggambarkan keadaan populasi (Sukardi, 2004 : 55).

Selain berdasarkan ketentuan di atas perlu pula penentuan jumlah sampel dikaji dari karakteristik populasi. Bila populasi bersifat  homogen maka tidak dituntut sampel yang jumlahnya besar. Misalnya saja dalam pemeriksaan golongan darah.  Walaupun pemakaian jumlah sampel yang besar sangat dianjurkan, dengan pertimbangan adanya berbagai keterbatasan pada peneliti, sehingga peneliti berusaha mengambil sampel minimal dengan syarat dan aturan statistika tetap terpenuhi sebagaimana dianjurkan oleh Isaac dan Michael (Sukardi, 2004 : 55). Dengan menggunakan rumus tertentu (lihat Sukardi, 2004 : 55-56), Isaac dan Michael memberikan hasil akhir jumlah sampel terhadap jumlah populasi antara 10 – 100.000..

Definisi Kebijakan Publik dan daftar pustaka

Definisi dan Klasifikasi Kebijakan Publik


Menurut Carl Friedrich, kebijakan publik adalah suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau maksud tertentu.[1]


Menurut James, A. Anderson, “…….a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with a problem or matter concern.” (serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah.[2]


Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan, kebijakan publik hendaknya berisi tujuan, nilai-nilai dan praktika-praktika sosial yang ada dalam masyarakat.[3]


Randall B. Ripley menganjurkan agar kebijakan publik dilihat sebagai suatu proses dan melihat proses tersebut dalam suatu model sederhana untuk dapat memahami konstelasi antar aktor dan interaksi yang terjadi di dalamnya.[4] (2)

John Erik Lane (1995) dalam Lele (1999) membagi wacana kebijakan publik ke dalam beberapa model pendekatan, yaitu (1) pendekatan demografik yang melihat adanya pengaruh lingkungan terhadap proses kebijakan. (2) model inkremental yang melihat formulasi kebijakan sebagai kombinasi variabel internal dan eksternal dengan tekanan pada perubahan gradual dari kondisi status quo. (3) model rasional. (4) model garbage can dan (5) model collective choice aksentuasinya lebih diberikan pada proses atau mekanisme perumusan kebijakan. [5] (mencakup 2 dan 3)


Putra Fadhilah dalam salah satu bukunya mengatakan bahwa sudah saatnya wacana kebijakan publik terlepas dari anggapan yang selama ini masih menancap sebagai “ilmunya penguasa”. Kebijakan publik sekarang harus menjadi “ilmunya seluruh elemen bangsa”.[6] (keluar dari satu)


Fauzi Ismail, dkk dalam bukunya menyatakan bahwa kebijakan publik adalah bentuk menyatu dari ruh negara, dan kebijakan publik adalah bentuk konkret dari proses persentuhan negara dengan rakyatnya. Kebijakan publik yang transparan dan partisipatif akan menghasilkan pemerintahan yang baik. Paradigma kebijakan publik yang kaku dan tidak responsif akan menghasilkan wajah negara yang kaku dan tidak responsif. Demikian pula sebaliknya, paradigma kebijakan publik yang luwes dan responsif akan menghasilkan wajah negara yang luwes dan responsif pula. [7] (4)


Suatu kebijakan publik, kebijakan Negara atau kebijakan umum, merupakan bagian dari suatu keputusan politik. Keputusan politik merupakan keputusan yang mengikat, menyangkut dan mempengaruhi masyarakat umum, serta dipahami sebagai pilihan terbaik dari berbagai bentuk alternatif mengenai berbagai urusan yang menjadi kewenangan pemerintah (Surbakti, 1984:88). (1) Beberapa literatur menggunakan dua konsep kebijakan. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:115), kedua konsep ini mempunyai arti yang sama, yakni: serangkaian konsep dan azas yang menjadi garis besar dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi).


Sependapat dengan beberapa pendapat diatas adalah pendapat dari Parker, Dye, Edward III, Sharkansky, dan Anderson.


Menurut Parker, kebijakan publik adalah suatu atau tindakan yang dilakukan oleh suatu tujuan tertentu atau serangkaian prinsip, atau tindakan yang dilakukan oleh suatu pemerintahan pada periode tertentu ketika terjadi suatu subyek atau krisis. (1)


Kebijakan publik didefinisikan oleh Dye sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau sesuatu, maka harus ada tujuannya dan kebijakan publik atau kebijakan negara itu harus meliputi semua tindakan pemerintah. Dengan demikian, kebijakan publik bukan semata-mata merupakan pernyataan atau keinginan pemerintah ataupun pejabat pemerintah saja. (1)


Sependapat Dye diatas,

Edward III dan Sharkansky menyatakan bahwa kebijakan publik adalah apa yang dikatakan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan negara itu berupa sasaran atau tujuan dari berbagai program pemerintahan. Edward III dan Sharkansky selanjutnya mengemukakan bahwa kebijakan itu dapat ditetapkan secara jelas dalam berbagai peraturan perundang-undangan, atau dalam bentuk pidato pejabat pemerintah. (1)


Sedangkan menurut Anderson, kebijakan publik adalah kebijakan yang dikembangkan oleh lembaga atau badan pemerintah (Islamy, 1984:25).(1)

Berbagai implikasi dari pengertian diatas ini adalah bahwa kebijakan publik memiliki karakteristik sebagai berikut :

1. Selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan suatu tindakan yang berorientasi tujuan.

2. Berisi tindakan-tindakan atau pola tindakan pejabat pemerintah.

3. Merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah.

4. Bersifat posistif dalam arti suatu tindakan hanya dilakukan dan negatif dalam arti keputusan itu bermaksud untuk tidak melakukan sesuatu.

5. Kebijakan itu didasarkan pada peraturan atau perundang-undangan yang bersifat memaksa.


Pendapat kedua, yang memberi perhatian kebijakan disampaikan oleh Nakamura, Smalwood, Pressman dan Wildavsky.

Menurut Nakamura dan Smalwood, kebijakan publik berarti serangkaian instruksi dari para pembuat keputusan kepada pelaksana untuk mencapai tujuan tersebut (Santoso, 1990:5). Nakamura dan Smalwood melihat kebijakan publik dalam ketiga lingkungan pelaksanaan kebijakan dan lingkungan penilaian kebijakan. (2)


Sedangkan Pressman dan Wildavsky mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu hipotesis yang mengandung kondisi-kondisi awal dan akibat-akibat yang bisa diramalkan (Santoso, 1990:5).


Meskipun terdapat berbagai definisi kebijakan negara (Public policy), seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat.[8](1)


Kebijakan publik dibaca dalam lingkar otoritas negara, persoalan yang muncul selama ini disebabkan oleh kompetensi aparat yang tidak memadai atau juga karena pilihan agenda setting yang kurang tepat.[9]


Proses kebijakan dapat tercipta dalam sebuah mekanisme interaksi antar individu. Proses pertukaran dan pertaruhan antar individu dapat menciptakan sebuah mekanisme sendiri, yaitu pasar, yang merupakan sebuah proses panjang dari transformasi di dunia politik.[10]


Sebuah proses kebijakan merupakan sebuah proses yang multilinear dan kompleks. Atau dengan kata lain, kompleksitas sosok arena kebijakan (baca: masyarakat dan negara) turut mewarnai proses kebijakan yang ada. Hal tersebut sangat memungkinkan terjadi karena sebuah proses kebijakan selalu lahir dan besar pada ‘ruang dan waktu’ yang tak kosong.[11]


Kebijakan publik bisa dilihat sebagai sebuah fenomena gerakan sosial.[12]


Kebijakan publik adalah membangun masyarakat secara terarah melalui pemakaian kekuasaan (doelbewuste vormgeving aan de samenleving door middle van machtsuitoefening).[13]
Amir Santoso mengemukakan pandangannya mengenai Kebijakan Publik yakni :
Pertama adalah pendapat para ahli yang menyamakan kebijaksanaan publik dengan tindakan-tindakan pemerintah. Mereka cenderung untuk menganggap bahwa semua tindakan pemerintah dapat disebut sebagai kebijaksanaan publik.

Kedua adalah pendapat dari para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijaksanaan.[14]

Dalam kaitan ini termasuk definisi yang dikemukakan oleh Thomas R. Dye sebagai berikut : Public Policy is whatever govertments choose to do (semua pilihan atau tindakan apa pun yang diakukan oleh pemerintah baik untuk melakukan sesuatu ataupun pilihan untuk tidak melakukan sesuatu).[15]
Selanjutnya Nakamura dan Smallwood mengemukakan pendapat bahwa : Kebijakanaan negara adalah serentetan instruksi/pemerintah dari para pembuat kebijaksanaan yang ditujukan kepada para pelaksana kebijaksanaan yang menjelaskan tujuan-tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut.[16]
Berkaitan dengan pendapat di atas, Edwards dan Sharkansky mengatakan bahwa : Kebijaksanaan negara adalah apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan oleh pemerintah atau apa yang tidak dilakukannya……ia adalah tujuan-tujuan sasaran-sasaran dari program-program……pelaksanaan niat dan peraturan-peraturan.[17]
Parker, salah seorang ahli analisis kebijaksanaan publik menyebutkan bahwa : Kebijaksanaan negara itu adlah suatu tujuan tetentu atau serangkaian asas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan oleh pemerintah pada suatu waktu tertentu dalam kaitannya dengan sesuatu subyek atau sebagai respon terhadap suatu keadan yang krisis.[18]
William N. Dunn merumuskan kebijaksanaan publik sebagai berikut : Kebijaksanaan Publik (Public Policy) adalah pedoman yang berisi nilai-nilai dan norma-norma yang mempunyai kewenangan untuk mendukung tindakan-tindakan pemerintah dalam wilayah yurisdiksinya.[19]
Konsep kebijaksanaan publik menurut David Easton sebagai berikut : Alokasi nilai yang otoritatif untuk seluruh masyarakat akan tetapi hanya pemerintahlah yang dapat bebuat secara otoritatif untuk seluruh masyarakat, dan semuanya yang dipilih oleh pemeintah untuk dikerjakan atau untuk tidak dikerjakan adalah hasil-hasil dari alokasi nilai-nilai tersebut.[20]


[1] Winarno, Budi, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Pressindo, Yogyakarta: 2002 dalam Skripsi Putri H, Indriani, Implementasi Kebijakan Penataan Ruang Kota dalam Kerangka Pembangunan Perkotaan. Studi Kasus: Penataan Penyelenggaraan Media Reklame Luar Ruang Kota Yogyakarta. Jurusan Administrasi Negara, Universitas Gadjah mada: 2005. hal 36.

[2] Anderson, James, Public Policy-making, Second edition, Holt, Rinehart and Winston: 1979 dalam Islamy, Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Cetakan 12, Bumi Aksara, Jakarta:2003. dalam Putri H, Indriani, ibid hal 37

[3] Subarsono, AG. Mata Kuliah Analisis Kebijakan Publik. Program Magister Administrasi Publik. Fakultas Pascasarjana UGM. Yogyakarta: 2003 hal 2 dalam Skripsi Widayati, Ida. Proses Formulasi Kebijakan Perluasan Wilayah. Studi Kasus: Proses Perluasan Wilayah Kota Bontang ke Hutan Lindung. Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2005, hal 16.

[4] Randall B. Ripley, Policy Analysis in Political Science, Nelson-Hall Publisher, Chicago:1985 dalam Skipsi Safrina, Dian. Studi Formulasi Kebijakan, Studi Kasus: Penentuan Harga Crude Palm Oil di Propinsi Sumatra Utara. Jurusan Administrasi Negara. UGM: 2003, hal 19.

[5] Lele, Gabriel, Post Modernisme dalam Pengembangan Wacana Formulasi Kebijakan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta: 1999 dalam Safrina, Dian, ibid hal 22.

[6] Fadhilah, Putra. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi dalam Proses Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta: 2003 dalam Skripsi Sundari, Yudhiani Titi, Kebijakan yang Tidak Partisipatif, Studi Kasus: Kebijakan Relokasi Pasar Wage, Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jurusan Administrasi Negara, UGM: 2005, hal 17

[7] Ismail, Fauzi. Libatkan Rakyat dalam Pengambilan Kebijakan, Forum LSM DIY, Yogyakarta: 2005 dalam Sundari Yudhiani, Titi, ibid hal 18

[8]http://www.balitbangjatim.com/jurnal_mainIsi_detail.asp?id_jurnal=12&id_isi=13&hal=3


[9] Santoso, Purwo, dkk (ed). Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Fisipol UGM: 2004. hal 3

[10] ibid hal 57.

[11] Ibid, hal 123.

[12] Ibid, hal 235.

[13] A. Hoogerwerf, Politicologie : Begrippen en Problemen (Alpen aan den Rijn, Samson Uitgeverij, 1972), h. 3 8-39 dalam skripsi Ari Dwi Astuti, ”Selamat Pagi Bupati”: Studi Tentang Efektifitas Sosialisasi Kebijakan Pemda Kebumen Melalui Siaran Radio, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM, 2004.

[14] Amir Santoso, Analisa Kebijakan Publik : Suatu Pengantar, Jurnal Ilmu Politik No. 3, Gramedia, Jakarta, 1992, h. 4 dalam skripsi Hernani, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijaksanaan Pengendalian dan Penertiban Peredaran Minuman Keras : Suatu Penelitian Deskriptif Terhadap Keberhasilan Implementasi Kebijaksanaan Minuman Keras di Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Barat, Jurusan Ilmu Pemerintahan, UGM, 1997, h. 25.

[15] Thomas R. Dye dalam Solichin Abdul Wahab, Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, h. 31 dalam skripsi Hernani, ibid, h. 26.

[16] Amir Santoso, Op cit. h. 26.

[17] Edwards dan Sharkansky dalam Solichin, ibid h. 31 dalam skripsi Hernani, ibid h. 26.

[18] Parker dalam Solichin, Ibid, h. 31 dalam skripsi Hernani, ibid, h. 27.

[19] Wiliiam N. Dunn dalam Ibnu Syamsi, Diktat Kuliah Kebijaksanaan Publik dan Pengambilan Keputusan, Fisipol UGM, Yogyakarta, 1993, h. 5 dalam skripsi Hernani, Ibid, h. 27-28.

[20] David Easton dalam Miftah Thoha, Dimensi-Dimensi Prima Ilmu administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992, h. 59-60 dalam skripsi Hernani, Ibid, h. 29.

source : http://ratnadwipa.blogspot.com/