Senin, 21 Oktober 2013

Teori Kebijakan Publik

Konsep Kebijakan Publik

#Mar Rae & Wilde
kebijakan publik adalah serangkaian tindakan oleh pemerintah yang mempunyai pengaruh penting terhadap sejumlah besar masyarakat.
#Thomas R Dye
Apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
#James E Anderson
Kebijakan yang dikembangkan oleh badan atau pejabat pemerintah.
#David Easton
Pengalokasian nilai nilai secara paksa kepada masyarakat
#Robert Easton
Hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungannya.

Masalah publik adalah  ketidaksesuaian antara yang seharusnya dengan  yang terjadi di dalam masyarakat . 
http://wisnusubagyo.blogspot.com/2011/11/pengertian-kebijakan-publik.html ( diakses 21/10/2013 21:14 )
Masalah Privat adalah masalah yang dalam penyelesaiannya tidak berdampak pada orang lain.http://eprints.undip.ac.id/9509/1/Masalah_Publik_2.pdf
Masalah Terstruktur adalah masalah yang dapat di ketahui penyelesaiannya dengan jelas dan pada umumnya terjadi berulang-ulang dan mempunyai fase terstruktur.
http://definisiwirausahamenurutahli.blogspot.com/2012/11/masalah-terstruktur-dan-tidak.html ( diakses 21/10/2013 21:27 )
Masalah Strategis adalah ..............

Kebijakan publik dibuat dengan tujuan dan sasaran yang jelas bukan perilaku sembarang.
Kebijakan publik adalah pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah bukan keputusan pribadi.

Kenapa suatu kebijakan diterima oleh masyarakat ?
1 Kesadaran dari masyarakat
2 Keyakinan masyarakat
3 Kepentingan Pribadi
4 Sanki Hukum
5 Masalah waktu

Kenapa kebijakan tidak diterima oleh masyarakat
1 Bertentangan dengan sistem nilai yang ada
2 Konsep ketidakpastian selektif
3 Keanggotaan yang tidak disukai
4 Ketidakpastian hukum

Tiga teknik perumusan kebijakan publik
1. Rutin
2. Analogis
3. Kreatif  - unsur kreatif ada 5
a. Intuisi b. imajinasi  c. keseriusan  d.sintesis  e integrasi

Administrasi Pemerintahan Daerah

#Teori Negara
1. Negara Federal yaitu perhimpunan negara kecil dan lemah secara sukarela, kekuasaan dan kedaulatan negara bagian (negara kecil & lemah) diserahkan ke negara federal.

Ciri Negara Federal :
a. Pemerintah pusat punya kekuasaan penuh untuk menjalin hubungan dengan negara lain atas nama neg bagian.
b. Pemerintahan dibagi menjadi pemerintah pusat dan pemerintah negara bagian.
c. Terdapat badan peradilan khusus yang menangani persilihan antara pemerintah pusat dan negara bagian.

2. Negara Kesatuan yaitu Negara besar secara wilayah yang membagi negaranya menjadi beberapa daerah yang lebih kecil yang selanjutnya disebtu daerah otonom. Kewenangan daerah sebenernya adalah kewenangan pusat yang di desentralisasikan sehingga terbentuk daerah otonom.

Sentralistik : bottom up---> negara federal
Desentralistik : top down ----> negara kesatuan

Munculnya desentralisasi karena menganggap bahwa pemerintahan pusat yang terlalu terpusat bisa menyebabkan birokrasi yang korup. Desentralisasi juga dianggap pendongkrak bagi daerah untuk memajukan daerahnya dengan kewenangan untuk mengatur daerah otonomnya.

UU tentang otonomi daerah yang berlaku di Indonesia saat ini mengacu pada UU No. 32 Th 2004 ( sebagaimana telah diuba dengan UU No.8 Th 2005 )

Devolusi = Desentralisasi Politik
Dekonsentrasi = Desentaralisasi Administratif - sharing kekuasaan diantara pejabat yang berada pada satu tempat yang sama .
Asas tugas Pembantuan = asa yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi tugas.

Desentralisasi menurut ahli  :

1. Bird dan Vaillancorrt (2000) ada tiga variasi desentralisasi dalam pengambilan keputusan
     a. Desentralisasi berarti pelepasan tanggung jawab yang berada dalam lingkungan pemernitah pusat ke instasnsi vertikal di daerah.
     b. Delegasi , daerah bertindak sebagai perwakilan pemerintah untuk melaksanakan fungsi fungsi tertentu atas nama pemerintah.
     c. Devolusi ( pelimpahan ) kewenangan untuk memutuskan apa yang perlu dikerjakan .
2. Rondinelly (1981) Pemindahan wewenang mengenai perencanaan, pembuatan keputusan, dan administrasi dari pemerintah pusat kepada organisasi lapangannya, unit PemDa, Organisasi setengah swantantra-otorita.

Tujuan Desentralisasi
A Bagi Negara/Kepentingan Nasional
     1. Memperkuat integritas bangsa
     2. Sebagai wadah training bagi calon pemimpin
     3. Mempercepat kesejahteraan rakyat
B. Bagi Daerah
     1. Mewujudkan Demokrasi lokal
     2. Meningkatkan Pelayanan Publik
     3. Efisiensi dan efektifitas pelayanan publik

Prinsip dalam Otonomi Daerah
1. UU No5 Th 1974---- Otonomi yang nyata dan bertanggungjawab
2. UU No.22 Th  1999 ----- Otonomi yang nyata dan seluas luasnya
3. UU No. 32 T 2004 ---- otonomi yang nyata dan seluas luasnya

Pemerintah daerah menurut UU No5 1974 adalah kepala daerah dan DPRD, UU No.22 Th 1999 pemimpin daerah oleh kepala daerah , DPRD dipisahkan dari PemDa dengan maksud memberdayakan DPRD


Minggu, 13 Oktober 2013

Tipologi Umum Implementasi Kebijakan


Tipologi Kebijakan menurut Ripley  & Franklin:
Menurut Ripley kebijakan publik dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar yakni Kebijakan Dalam Negeri dan Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan. Masing – masing kategori tersebut memiliki beberapa tipe kebijakan berdasarkan tujuannya. Ripley yang menelaah hubungan antara berbagai tipe kebijakan dengan dinamika interaksi antara aktor yang terlibat dalam pengimplemnetasian menyimpulkan bahwa kebijakan – kebijakan dengan tipe tertentu secara substansi memiliki tingkat kesulitan pengimplementasian yang berbeda- beda. Tipe – tipe kebijakan tersebut adalah :

A.     Kebijakan Dalam Negeri (Domestic Policy):

  1. Distributive Policy (Kebijakan Distributif)
adalah kebijakan dan program yang diarahkan untuk mendorong sector privat untuk melakukan aktifitas yang tidak akan dilakukan apabila tidak disubsidi oleh pemerintah. Dengan kata lain : “Apabila masyarakat melakukan tindakan “A” maka akan diganjar dengan keuntungan “B”. Kebijakan untuk mendorong produktivitas pertanian dan kebijakan – kebijakan yang bersifat memberikan subsidi biasanya merupakan jenis kebijakan ini (misalnya subsidi bibit tanaman dan pupuk untuk mendorong petani menanam tebu, dll).
Kebijakan tipe ini relatif lebih mudah dalam pengimplementasiannya, karena hubungan antar factor yang terlibat tidak rawan timbul konflik kepentingan. Kalaupun kebijakan atau program tipe ini di Indonesia tidak mencapai hasil yang diharapkan, biasanya berkaitan dengan perilaku oknum aktor pelaksana yang mencurangi subsidi.

2. Competitive Regulatory Policy (Kebijakan Pengaturan Persaingan)
Adalah kebijakan dan program yang dibuat untuk membatasi aktifitas sector privat untuk memproduksi jasa – jasa dan barang – barang tertentu dengan menetapkan criteria – criteria yang harus dipenuhi karena banyaknya peminat. Regulasi alat dan sarana transportasi umum biasanya merupakan jenis kebijakan ini.
 Kebijakan tipe ini memiliki tingkat kesulitan pengimplementasian “sedang” karena meski akan ada intervensi kepentingan dari pihak yang terkena akibat kebijakan, namun tingkat konflik yang timbul tidak begitu besar.

3. Protective Regulatory Policy (Kebijakan Pengaturan Perlindungan)
adalah kebijakan dan program yang didesain untuk membatasi    aktifitas – aktifitas sector privat yang bisa membahayakan atau merugikan sebagian masyarakat yang lain (misalnya polusi kendaraan dan pabrik, pembuatan obat – obatan, minuman keras, dll). Berbagai kebijakan yang menyangkut kelestarian lingkungan hidup biasanya juga termasuk tipe kebijaksanaan ini.
Kebijakan tipe ini relatif “sulit” dalam pengimplementasian. Benturan kepentingan antara pelaku ‘bisnis’ dengan ‘keamanan’ masyarakat yang dilindungi melalui kebijakan ini rawan menimbulkan konflik dalam skala yang cukup tinggi, demikian juga kemungkinan benturan kepentingan antar aktor pelaksana yang terlibat.

4. Redistributive Policy (Kebijakan Pendistribusian Ulang)
adalah kebijakan dan program yang diasumsikan dapat menghasilkan ‘perkembangan’ kesehjahteraan, kepemilikan, hak, dan nilai – nilai lain di antara kelas – kelas social (ataupun kelompok etnis/ suku). Dengan kata lain tujuan kebijakan dan program ini adalah untuk mendistribusikan kembali nilai – nilai yang lebih dari satu kelompok masyarakat pada kelompok masyarakat yang kekurangan (misalnya penetapan harga BBM dan energi listrik berdasarkan perbedaan penggunaannya: industri, industri rumah tangga, rumah tangga, dst: Pajak Pertambahan Nilai: Inpres Daerah Tertinggal, dll).
Kebijakan tipe ini juga relatif sulit dilaksanakan, karena tingkat konfliknya bisa sangat tinggi, terutama dari yang merasa dirugikan oleh kebijakan ini. Misalnya saat subsidi BBM dicabut walau diganti dengan Program Kompensasi Pencabutan BBM (PKPS – BBM) yang berkaitan langsung dengan kepentingan rakyat miskin, namun kebijakan ini tetap menuai protes keras dan demonstrasi terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.


B.      Kebijakan Luar Negeri dan Pertahanan

1. Structural Policy
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah untuk memperoleh, menyebarkan dan mengatur personel – personel dan kebutuhan – kebutuhan militer. Kebijakan dan program ini dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah sebagaimana pada distributive policy, namun tentang siapa, berapa banyak dan kapan dilakukan, harus dputuskan terlebih dahulu. (Misalnya pembangunan atau penutupan instalasi militer, system persenjataan untuk pertahanan negara, dll). Untuk jenis kebijakan ini pengimplementasiannya dilakukan langsung oleh Angkatan Bersenjata, bukan oleh pemerintah (c/q Birokrat).

2. Strategic Policy
Kebijakan dan program strategi ini untuk menegaskan sikap dan menjalankan kebijaksanaan luar negeri dan militer pada negara lain (misalnya kebijakan perdagangan luar negeri, pemberian bantuan pada negara lain yang sedang mengalami musibah, keikutsertaan dalam pertahanan perdamaian dunia, dll).

3. Crisis Policy
Kebijakan ini dilakukan dengan sebagai respon atas masalah – masalah luar negeri yang tiba – tiba dihadapi oleh negara (misalnya ada invasi dari negara asing).
Dari tipologi kebijakan yang dilakukan oleh Ripley tersebut, untuk kondisi Indonesia pada umumnya kebijakan – kebijakan domestiklah yang memiliki relevansi dengan permasalahan implementasi dalam konteks admnistrasi publik. Kebijakan yang menyangkut masalah Pertahanan/ militer umumnya diputuskan dan diimplementasikan untuk kalangan dan lingkup yang khusus : militer dan relatif tertutup bagi administrasi publik.
Namun perlu juga diingat bahwa tipologi tersebut dibuat terutama berdasarkan kenyataan empirik di Amerika Serikat, yang dalam banyak hal yang berebda kondisi bangsa Indoenesia. Tidak semua kebijakan yang dilakukan di negara kita bisa dengan tepat dikategorikan ke dalam salah satu tipe tersebut, kendati Ripley & Franklin juga mengatakan bahwa bisa jadi sebuah kebijakan mengandung ciri lebih dari satu tipe kebijakan.

Tipologi Kebijakan menurut George C. Edwards III
George Edward III mengakatagorikan kebijakan secara berbeda dengan yang dilakukan oleh Ripley & Franklin (yang mengkaitkannya dengan interaksi antar aktor). Edwards mengkatagorikan berdasarkan sifat atau karakteristik kebijakan. Menurutnya ada beberapa jenis kebijakan yang pada dasarnya mudah menemui permasalahan dalam pengimplementasiannya. Kebijakan tersebut adalah kebijakan yang bersifat:

1.      New Policies
    Yang dimaksud dengan kebijakan baru disini bukan sekedar kebijakan – kebijakan atau program – program yang baru disyahkan, tapi kebijakan yang memang belum pernah dilaksanakan sebelumnya.

2.      Decentralized Policies
Kebijakan ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah pusat, namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing – masing daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang bisa jadi beragam antar daerah dan juga kesiapan daerah yang masing – masing tidak sama, sehingga pengimplementasian dan hasilnya pun bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan tersebut.

3.      Controvercial Policies
Kebijakan yang controversial adalah kebijakan yang mengandun  reaksi – reaksi dan penafsiran – penafsiran yang saling bertentangan secara tajam. Sudah dengan sendirinya kebijakan demikian mudah menemui kesulitan saat diimplementasikan karena yang merasa dirugikan akan berusaha menggagalkannya. Contoh kebijakan ini adalah Kebijakan Anti Prostitusi di Kabupaten Tangerang baru – baru ini, dan rencana UU APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) yang sampai saat ini belum mendapat persetujuan karena mengundang kontroversi dari berbagai kalangan secara tajam.

4.      Complex Policies
Kebijakan yang komoleks adalah kebijakan yang mengandung banyak aspek sekaligus melibatkan berbagai badan dalam pengimplementasiannya. Banyak aspek yang terkait dan beragamnya pihak yang terlibat (lintas sektoral dan lintas departemen) menyebabkan kebijakan jenis ini mudah menemui permasalahan dalam. Contohnya adalah UU Lingkungan Hidup. Aspek yang terkait sangat beragam mulai air, udara, tanah, hutan, dsb: aktor yang terkaitpun sangat banyak.

5.      Crisis Policies
Kebijakan krisis adalah kebijakan yang dibuat untuk menanggapi situasi – situasi krisis yang mendesak dilakukannya tindakan segera. Program – program dari kebijakan seringkali tidak terencana dan terorganisasi dengan baik, akibatnya pengimplementasian program mudah menghadapi kesulitan. Contoh kebijakan ini adalah program – program pemulihan Indoenesia paska krisis ekonomi tahun 1997, misalnya program BLBI yang tak juga tuntas dan berhasil mengembalikan kerugian negara akibat hutang – hutang pengusaha swasta. Juga kebijakan pembangunan kembali Aceh paska badai Tsunami akhir tahun 2004.

6.      Judicial Policies
Kebijakan ini adalah kebijakan yang mengandung penerapan sanksi hukum bagi pelanggarnya. Pada dasarnya kebijakan ini mudah menemui kesulitan saat implementasi karena melibatkan badan lain yang berlainan fungsi dan kewenangan. Misalnya pada kasus pencemaran lingkungan ditemukan adanya pelanggaran oleh aparat administrasi publik, maka penyelidikan dan pembukitan harus dilakukan oleh lembaga – lembaga yang berbeda, yang persepsi dan penafsirannya atas pelanggaran  tersebut juga bisa berbeda. Selain itu seringkali kebijakan demikian justru belum dilengkapi dengan perangkat – perangkat hukum yang jelas (kebijakannya sudah ada dan diimplementasikan, tapi aturan – aturannya belum ada). Batas – batas kewenangan dan koordinasi adalah masalah yang umumnya terjadi pada kebijakan – kebijakan jenis ini, segingga seringkali terjadi saling lempar tanggung jawab atau justru berebut wewenang.

7.      Combination of characteristics
Sebuah kebijakan bisa memiliki beberapa karakteristik sekaligus, sehingga tingkat kesulitan dalam pelaksanannya niscaya juga lebih tinggi dibanding implementasi yang hanya memiliki satu karakteristik. Jika RUUAPP berhasil menjadi UU, maka kebijakan ini akan memiliki karakteristik sebagai new policy, yudicial policy, sekaligus controvercial dan complex policy.
Relevansi tipe kebijakan Edward III ini bagi studi implementasi adalah bahwa jika proses implementasi dipahami sebagai kombinasi “problem generating” dan ‘problem solving’ yang saling berkaitan, maka apabila telah diketahui bagaimana permasalahan dalam implementasi itu muncul, akan lebih mudah mengupayakan problem solvingnya. Jika problem generating berkaitan dengan implementatau teknik yang digunakan pemerintah dalam kebijakan tersebut(enforcement, inducement, benefaction, dan gabungan dari ketiganya), maka problem solving berkaitan dengan komponen utama sumber daya yang harus ada untuk melaksanakan kebijakan yang dimaksud. Komponen – komponen sumber daya tersebut adalah dukungan politik, dana, kompetensi administrative, dan kepemimpinan yang kreatif, yang harus tersedia dengan derajad yang  berbeda – beda bergantung kebijakan yang diimplementasikan.
Sebagai contoh kebijakan yang harus diimplementasikan adalah kebijakan yang harus menggunakan teknik enforcement, misalnya kebijakan Anti-Terorisme,  atau kebijakan menaikkan harga BBM, maka komponen utama yang harus tersedia adalah dukungan politik sebab tanpa dukungan politik yang kuat, niscaya kebijakan tersebut tak dapat diimplementasikan dengan baik. Demikian pula jika kebijakan yang diimplementasikan menggunakan teknik inducement, maka sumberdaya berupa kompetensi administrasif implementor haruslah kuat, dan seterusnya tergantung pada teknik yang digunakan dalam menginterpretasikan kebijakan yang harus diimplementasikan.

Tipologi lainnya
Substantive policies adalah kebijaksanaan tentang apa yang akan/ingin dilakukan oleh pemerintah. Yang menjadi tekanan adalah subject matternya, misalnya kebijaksanaan luar negeri, perdagangan, perburuhan, pendidikan, energi, kesehatan, perumahan dan sebagainya.

Prosedural policies, adalah kebijaksanaan-kebijaksanaan tentang siapa atau pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam perumusan kebijaksanaan serta cara bagaimana perumusan kebijaksanaan itu dilaksanakan. Misalnya prosedur pembuatan UU Perpajakan yang menyangkut beberapa pihak yang terlibat serta prosedur perumusannya.

Material Policies, adalah kebijaksanaan tentang pengalokasian atau penyediaan sumber-sumber material yang nyata atau kekuasaan yang hakiki bagi para penerimanya atau mengenakan beban-beban (kerugian) bagi yang harus mengalokasikannya. Misalnya : kebijaksanan tentang kewajiban para majikan untuk membayar upah minimum bagi buruhnya, kewajiban pemerintah daerah untuk menyediakan perumahan murah bagi warganya dan sebagainya.

Symbolic Policies,adalah kebijaksanaan yang bersifat tidak memaksa (non-enforcement), karena kebijaksanaan itu apakah akan memberikan keuntungan atau kerugian hanya memiliki dampak yang relatif kecil bagi masyarakat. Misalnya: Kebijaksanaan tentang larangan menginjak taman atau rumput di taman-taman kota, pajak progresif, konservasi hutan dan sebagainya.

Collectives Goods Policies, adalah kebijaksanaan tentang penyediaan barang-barang dan pelayanan-pelayanan bagi keperluan orang banyak (kolektif) . Misalnya : Kebijaksanaan tentang pengadaan Sembilan Bahan Pokok (semabko) pengawasan lalulintas dan sebagainya.

Private Goods Policies, adalah kebijaksanaan tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan-pelayanan hanya bagi kepentingan perseorangan (private), yang tersedia di pasaran bebas dan orang yang memerlukannya harus membayar biaya tertentu. Misalnya : Kebijaksanaan tentang penyediaan barang keperluan pribadi seperti restoran, tempat hiburan, perumahan, universitas, rumah sakit, pelayanan telepon dan sebagainya.

Liberal Policies, adalah kebijaksanaan yang menganjurkan pemerintah untuk mengadakan perubahan-perubahan sosial terutama yang diarahkan untuk memperbesar hak-hak persamaan. Kebijaksanaan liberal ini menghendaki agar pemerintah mengadakan koreksi terhadap ketidakadilan dan kelemahan-kelemahan yang ada pada aturan-aturan sosial, meningkatkan program-program ekonomi dan kesejahteraan.

Concervative Policies,adalah lawan dari kebijaksanaan liberal. Menurut faham konservatif aturan sosial yang ada cukup baik jadi tidak perlu adanya perubahan sosial (bertahan dengan status quo) atau kalau perubahan sosial diperlukan harus diperlambat dan berjalan secara alamiah.




source : http://legislasi.blogspot.com/2008/12/kuliah4proses-perumusan-kebijaksanaan.html
atau bisa baca juga di http://nuryaman-tritas.blogspot.com/2011/05/proses-perumusan-kebijakan-publik.html